Selasa, 08 Februari 2011

Slide IPELMASRA

Sanggar Gelanggang Kreativitas Mahasiswa Nagan (Gerhana) IPELMASRA



n

Sanggar Gelanggang Mahasiswa Nagan (Gerhana) adalah sanggar binaan Ikatan Pelajar Mahasiswa Nagan Raya, Banda Aceh. Mulanya sanggar ini hanya latihan tarian ranup lampuan yang akan disiapkan untuk ditampilkan pada saat pelantikan pengursu Ipelmasara periode 2010-2012. Selanjutkan, tarian tersebut pun, oleh Ketua Umum Ipelmasara, Wirduna Tripa beserta pengurus Bidang Keputrian Ipelmasra sepakat untuk membentuk Sanggar yang dinamakan Sanggar Kreativitas Mahasiswa Nagan yang diakronimkan dengan sebutan Gerhana.

Kemudian, sanggar tersebutpun dijadikan sebagai sanggar utama Ipelmasra. Sanggar ini resmi terbentuk setelah pelantikan Pengurus Ipelmasara Perioode 2010-2012 tepatnya bulan November 2010.

Hutan Habis, Banjir Datang




Logo Ikatan Pelajar Mahasiswa Nagan Raya (IPELMASRA)

Rabu, 02 Februari 2011

Usut Dugaan Kasus Korupsi di Nagan Raya

BANDA ACEH–Polda dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh diminta mengusut tuntas kasus korupsi yang terjadi di Pemkab Nagan Raya. Catatan Ikatan Pelajar Mahasiswa Nagan Raya (Ipelmasra), ada sekitar 12 kasus dugaan korupsi yang hingga kini belum ditangani dua instansi penegak hukum itu.

Tuntutan itu disampaikan puluhan massa Ipelmasra di depan kantor Polda Aceh, Selasa (11/1).
Ketua Ipelmasra Wirduna Tripa mengungkapkan, kasus dugaan korupsi yang terjadi di Nagan Raya seperti penyimpangan pekerjaan proyek prasarana pemukiman transmigrasi di Beutong Ateuh, indikasi korupsi di Dinas Pendidikan Nagan Raya dalam pertanggung jawaban kegiatan fiktif.

Kasus penyimpangan pekerjaan lanjutan proyek pembangunan Jalan Utama di Kecamatan Suka Makmue, Nagan Raya, kasus dana bantuan Asian Development Bank (ADB), dugaan pengendapan dana dekonsentrasi yang berasal dari Unit Organisasi Luar Sekolah Departemen Pendidikan Nasional. Selain itu kasus pengendapan dana bantuan tunjangan fungsional guru dan indikasi korupsi pengadaan bibit kelapa sawit serta dugaan manipulasi uang negara dalam proyek peternakan sapi di Padang Turi oleh dinas perternakan setempat.

Kasus lainnya yang memerlukan penanganan serius yaitu, proyek pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) SMP 6 Kecamatan Kuala, Nagan Raya. Proyek pengadaan buku perpustakaan SD, SMP, dan SMP yang juga dilakukan oleh Dinas Pendidikan Nagan Raya.

“Dengan menumpuknya kasus dugaan korupsi di Nagan Raya, negara dirugikan berkisar Rp 100 miliar. Ini harus menjadi prioritas aparat penegak hukum," tegasnya. Dia menilai bahwa selama ini, aparat penegak hukum di Kabupaten yang beribukota Suka Makmur tersebut terkesan tidak serius dalam menangani sederetan kasus indikasi korupsi.

Wirduna menyebutkan, berbagai kasus indikasi korupsi yang terjadi di Nagan Raya selama beberapa tahun belakangan ini belum tersentuh hukum dan mengambang.
"Kita melihat penegak hukum di Nagan Raya tidak serius menangani, makanya sekali lagi kita berharap Polda dan Kejati untuk segera mengusut tuntas seluruh kasus dugaan korupsi di daerah tersebut," tukasnya.

Sayangnya, aksi unjuk rasa tersebut tak disahuti pejabat Polda Aceh. Bahkan awalnya massa berharap bisa bertemu dengan Kapolda Aceh, namun sama sekali tidak berhasil. (slm)

TKPRT: Aceh Green Hanya di Laptop


Banda Aceh — Kerusakan hutan rawa gambut di Tripa, Nagan Raya dan Aceh Barat Daya melewati angka 50 persen. Kebijakan Aceh Green dan Moratorium Logging dinilai hanya sebatas retorika belaka. Pemerintah dianggap lalai dalam penanganan kasus tersebut.

Menyikapi hal tersebut puluhan aktivis lingkungan yang tergabung dalam Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) dari berbagai LSM lingkungan berunjuk rasa. Unjuk rasa berlangsung di dua titik yaitu Simpang Lima Banda Aceh dan dilanjutkan dengan long march ke gedung DPR Aceh, Rabu (2/2). Aksi tersebut sekaligus memperingati Hari Lahan Basah Sedunia.

“Kondisi hutan Rawa Tripa yang memprihatinkan merupakan contoh betapa belum jelasnya program Aceh Green dan Moratorium Logging yang diterapkan pemerintah. Aceh Green masih dalam laptop. Belum ada tindakan nyata dari kebijakan tersebut,” tukas TM Zulfikar, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang ikut bergabung dalam aksi tersebut.

Zulfikar mengatakan, Rawa Tripa sudah rusak di atas 50 persen. Fungsi ekologi dari rawa tersebut sekarang telah terganggu akibat alih fungsi lahan menjadi lahan sawit. Pemerintah harus menjadikan kawasan hutan itu menjadi kawasan lindung.

“DPRA juga mesti memasukkan persoalan Rawa Tripa dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh. Hapuskan status area pengguna lain (APL) bagi rawa gambut. Sebab kerusakan hutan tersebut mulai terjadi sejak tahun 1990-an. Jadi, kebijakan Aceh Green harus sesuai dengan kondisi. Jangan hanya mengeluarkan program, tapi gak ada realisasi,” pungkas Zulfikar.

Apabila pemerintah tidak mendengar rekomendasi dari kami, lanjut Zulfikar, sebaiknya pemerintah harus diganti, karena kasus ini harus segera ditangani. “Mundur saja kalau gak mampu.”

Warga Tripa, Wirduna Tripa (22) mengungkapkan, masyarakat meminta kembali haknya atas pengelolaan hutan Tripa.

“Rawa Tripa bukan lahan basah untuk kekuasaan. Pengusaha telah merebut Rawa Tripa dengan izin dari pemerintah. Oleh karena itu, stop pemberian izin Hak Guna Usaha (HGU) di Rawa Tripa. HGU di Rawa Tripa harus dievaluasi. Sawit bukan solusi untuk pembangunan Aceh, khususnya daerah kami,” ketus Wirduna.

Aksi lanjutan di gedung DPRA disambut oleh Ketua Komisi A DPRA, Adnan Beuransyah. “Kami sedang membahas RTRWA. Jadi, masih butuh info untuk regulasi yang akan digodok itu. Jangan sampai ada info yang timpang, maka DPRA masih butuh info soal kondisi Aceh sekarang. 69 orang anggota dewan tidak mampu awasi seluruh hutan Aceh yang begitu luas.”

Adnan menambahkan, tetapi DPRA tetap komit melestarikan hutan Aceh melalui Qanun yang akan digodok. “Namun , Anda-anda (demonstran-red) juga harus menghimbau hal ini kepada pemerintah jangan hanya dewan. Pelaksana di lapangan adalah eksekutif, sedangkan dewan hanya membuat aturannya,” ujar Adnan.

Dari laporan yang diperoleh The Globe Journal dari massa TKPRT, sebelumnya di kawasan hutan rawa Tripa terdapat berbagai populasi hewan seperti beruang madu, harimau sumatera, buaya muara, burung rangkok, dan berbagai jenis satwa lainnya. Pasca pembukaan lahan hutan di kawasan tersebut, banyak satwa yang terancam punah.

Rawa Tripa adalah salah satu dari tiga hutan rawa yang berada di pantai barat pulau Sumatera dengan luas mencapai sekitar 61.803 hektar. Secara administratif 60 persen luas Rawa Tripa berada di kecamatan Darul Makmur Nagan Raya. Sisanya berada di wilayah Babahrot Aceh Barat Daya. Wilayah-wilayah tersebut berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), di dalamnya mengalir tiga sungai besar yang menjadi batas kawasan.

Theglobejurnal